Tantrum Bukan Drama: Bahasa Emosi Balita yang Perlu Dipahami

“Kenapa sih anakku suka banget marah-marah? Nangis, guling-guling, teriak… padahal cuma disuruh berhenti main?”

Pertanyaan ini adalah pintu masuk paling umum bagi orang tua balita ke dunia psikologi perkembangan anak. Kita sering melihat tantrum sebagai “ulah”, padahal itu sebenarnya bahasa anak yang belum lancar bicara emosinya.


🧠 Apa Itu Tantrum, dan Kenapa Terjadi?

Tantrum adalah ledakan emosi yang intens: bisa berupa menangis keras, menjerit, berguling-guling, melempar barang, bahkan memukul. Ini umum terjadi di usia 1–5 tahun, terutama saat anak belum bisa menyampaikan apa yang dia rasakan atau inginkan dengan kata-kata.

Secara ilmiah, tantrum terjadi karena otak bagian prefrontal cortex (yang mengatur logika dan kontrol diri) belum berkembang sempurna. Anak kecil lebih dikuasai oleh amygdala, bagian otak yang mengatur emosi. Jadi, saat anak kecewa, takut, atau frustrasi, emosi langsung “meledak” tanpa proses berpikir dulu.


🔥 Contoh Situasi Umum Tantrum:

Situasi Reaksi Anak Apa yang Sebenarnya Terjadi
Diminta berhenti main Nangis, menjerit Belum siap transisi, kecewa
Tidak boleh jajan Menjerit di minimarket Belum bisa mengelola rasa kecewa
Lapar/tidur siang terlambat Marah, memukul Kelelahan dan tidak tahu cara menyampaikan

Tantrum bukan berarti anak nakal. Ini cara mereka bilang: “Aku nggak ngerti kenapa rasanya kayak gini!”


💬 Dari Perspektif Anak, Mereka Ingin Dibilang:

“Aku gak tahu cara bilang bahwa aku capek banget.”
“Aku nggak ngerti kenapa aku nggak boleh main terus.”
“Aku cuma pengen kamu dengerin aku.”


❤️ Apa yang Bisa Orang Tua Lakukan?

✅ 1. Tenang Duluan, Baru Tanggapi

Tantrum itu menular. Kalau kita ikut marah, situasi makin meledak. Anak belajar paling baik dari emosi orang tua yang stabil. Tarik napas, hitung 5 detik.

Kalimat pengganti:

❌ “Udah, diam! Malu diliatin orang!”
✅ “Mama tahu kamu lagi marah. Gak apa-apa, Mama di sini.”


✅ 2. Jangan Langsung Ceramah

Otak anak saat tantrum sedang dalam mode “fight or flight”. Tidak bisa berpikir logis. Menasihati di saat itu sama seperti mengajak diskusi logika dengan orang yang sedang terbakar emosi.

Tunda pembicaraan. Tenangkan dulu. Baru ajak bicara saat anak sudah tenang.


✅ 3. Ciptakan Lingkungan Aman

Kalau tantrum di tempat umum: alihkan ke tempat lebih tenang (kalau bisa). Jika tidak, tetap dampingi tanpa marah atau mempermalukan anak.

Gunakan pelukan jika anak terbuka. Sentuhan lembut memberi sinyal bahwa ia tetap disayangi meski emosinya meledak.


✅ 4. Kenali Pola dan Pemicu

Beberapa anak tantrum karena:

  • Kelelahan (tidak tidur siang)

  • Lapar

  • Transisi mendadak (main → tidur)

  • Terlalu banyak stimulasi

Tips: buat rutinitas harian yang konsisten agar anak merasa aman dan tahu apa yang akan terjadi.


✍️ Tugas Refleksi Hari Ini:

Coba jawab di jurnal pribadi:

  1. Kapan terakhir anak saya tantrum?

  2. Apa pemicunya?

  3. Bagaimana saya merespons waktu itu?

  4. Apa yang ingin saya perbaiki atau coba lain kali?


🧩 Insight Psikologis:

Anak yang sering tantrum bukan berarti bermasalah. Tapi jika:

  • Tantrum sangat sering dan ekstrem,

  • Berlangsung sangat lama (>15 menit),

  • Disertai perilaku menyakiti diri sendiri atau orang lain,
    …maka perlu konsultasi dengan psikolog anak.


🎯 Kesimpulan Hari Ini:

Tantrum bukanlah hal yang harus ditakuti. Itu adalah kesempatan emas untuk membangun kelekatan dan melatih emosi anak. Saat kita mampu mendampingi anak dalam badai emosinya, kita sedang membangun pondasi hubungan yang kuat dan sehat.


💡 Kutipan Hari Ini:

“Saat anak paling sulit dicintai, itulah saat ia paling membutuhkannya.”