“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berumur tujuh tahun…”
(HR. Abu Dawud)
Sebagian orang tua bingung: anak balita suka meniru gerakan shalat, tapi apakah itu sudah termasuk ibadah? Haruskah kita serius mengajarkan shalat sejak usia dini, atau cukup menunggu hingga anak berusia tujuh tahun seperti dalam hadits?
Jawabannya: ya, mulai dari sekarang — tapi dengan pendekatan yang sesuai usia.
Kenapa Shalat Penting Dikenalkan Sejak Balita?
Shalat adalah tiang agama. Jika anak sudah terbiasa melihat, meniru, dan merasa nyaman dengan shalat sejak kecil, maka saat usia wajibnya tiba, mereka akan menjalaninya dengan ringan dan penuh kesadaran.
Balita bukan untuk “disuruh shalat”, tapi didekatkan pada shalat secara emosional dan motorik — gerakan, suasana, dan makna yang sederhana.
5 Cara Menanamkan Kecintaan pada Shalat Sejak Dini
1. Biarkan Mereka Meniru Gerakan
Balita sangat suka meniru. Ajak mereka berdiri di samping kita saat shalat. Biarkan mereka ikut ruku’, sujud, dan duduk meskipun gerakannya belum sempurna. Jangan memarahi mereka jika belum fokus atau malah main-main.
Justru itu proses belajar mereka. Anggap ini sebagai latihan penuh cinta.
2. Gunakan Sarana Bermain
Sediakan perlengkapan shalat khusus anak:
-
Sajadah kecil berwarna-warni.
-
Mukena atau peci mini.
-
Tasbih mainan.
-
Jam shalat berbentuk kartun.
Mainkan “shalat-shalatan” bersama mereka. Ini bukan meremehkan ibadah, tapi menanamkan kecintaan secara lembut.
3. Ceritakan Manfaat Shalat
Gunakan cerita sebelum tidur atau saat santai:
-
“Kalau kita shalat, Allah senang dan kita dapat pahala.”
-
“Kalau sedih, kita bisa curhat ke Allah lewat shalat.”
-
“Nabi Muhammad juga rajin shalat lho, walau sedang sakit.”
Gunakan gaya bahasa anak, penuh kasih dan ekspresif.
4. Jadikan Shalat sebagai Momen Hangat Keluarga
Shalat berjamaah di rumah adalah kebiasaan yang sangat berharga. Ajak anak ikut dalam shalat Maghrib atau Isya bersama. Biarkan mereka duduk di antara orang tua, meski belum benar-benar shalat.
Kehadiran mereka dalam suasana spiritual akan membentuk ingatan positif dan keakraban yang kuat.
5. Hindari Paksaan dan Ancaman
Jangan gunakan kalimat seperti:
-
“Kalau nggak shalat, Allah marah!”
-
“Mau masuk neraka?”
Ini akan menciptakan ketakutan, bukan cinta. Balita belum paham konsekuensi abstrak seperti dosa atau siksa. Lebih baik:
-
“Ayo shalat, Allah senang sama anak yang rajin shalat.”
-
“Nanti kita sujud bareng ya, minta doa sama Allah.”
Apa Kata Ulama?
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa anak-anak harus dikenalkan pada ibadah sejak dini, tanpa membebani mereka secara hukum, tapi dengan pembiasaan dan pelatihan yang menyenangkan.
Dengan begitu, ketika usia taklif (umur 7–10 tahun) tiba, mereka sudah siap menjalankan shalat sebagai ibadah, bukan sekadar rutinitas kosong.
Contoh Aktivitas Sehari-hari
-
Pagi hari: Shalat Dhuha bareng, anak ikut sujud walau belum wajib.
-
Sore: Bermain “masjid-masjidan” dengan boneka.
-
Malam: Cerita nabi yang shalat malam dan dekat dengan Allah.
Rutin-rutin kecil seperti ini akan membentuk memori spiritual yang kuat dan hangat.
Penutup
Membiasakan shalat sejak balita bukan soal kewajiban, tapi soal menumbuhkan cinta kepada Allah dan ibadah-Nya. Tidak masalah jika mereka belum paham semua. Yang penting, mereka merasa bahwa shalat itu menyenangkan, menenangkan, dan bagian dari kehidupan sehari-hari yang penuh cinta dan kedekatan dengan orang tua.
Besok, kita akan bahas tema “Mengajarkan Doa Harian dan Maknanya: Lebih dari Sekadar Hafalan”
